Oleh : Leilly Mardyani
Teori classical conditioning adalah perubahan sikap secara refleks akibat pengkondisian yang kemudian menimbulkan reaksi yang sama secara terus menerus. Artinya dalam penerapan teori ini dibutuhkan suatu benda untuk membantu sikap refleks terjadi.
Bentuk contoh penerapan teori classical conditioning adalah bel sekolah atau lonceng. Bunyi bel menjadi pertanda bagi siswa dimulainya proses belajar. Dengan menggunakan benda ini maka proses pengkondisian siswa menjadi lebih mudah. Guru tidak lagi harus berteriak-teriak menyuruh siswa masuk kelas. Dengan menggunakan benda sederhana ini, akan memudahkan guru dan juga siswa. Biasanya jumlah bunyi bel berbeda-beda, seperti masuk kelas bel 1x, istirahat 2x, dan pulang sekolah 3x. Siswa juga lebih memahami pergantian jam menggunakan bel daripada pergantian jam dengan menggunakan lisan secara langsung.
Selain bel sekolah, guru olah raga juga menggunakan teori ini untuk mengkondisikan siswa. Yaitu dengan menggunakan peluit. Dengan menggunakan peluit, akan memusatkan perhatian siswa kepada guru olah raga. Dengan pertanda bunyi peluit, maka artinya siswa harus segera menghadap guru olah raga. Dengan menggunakan peluit, akan mempermudah guru olah raga saat mengajar siswa.
Namun teori classical conditioning masih memiliki kelemahan. Kelemahannya yaitu masih menganggap manusia sebagai mesin, dan memiliki sikap refleks otomatis. Teori hanya mengutamakan latihan dan kemudian menjadi kebiasaan yang terus menerus terjadi. Sedangkan manusia sebagai pribadi humanistik terkadang memiliki gejolak untuk memberontak atau tidak bersikap refleks seperti biasa. Teori ini paling cocok diterapkan di pendidikan militer, karena dalam pendidikan tersebut kedisiplinan merupakan hal yang sangat penting.






0 komentar:
Post a Comment